...
Sejarah Komnas Perempuan
"Sejarah Komnas Perempuan adalah Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia"

 

“….Memori atau identitas atau jati diri perempuan, jati diri ini harus dituliskan. Maka sejarah Komnas Perempuan adalah sejarah gerakan perempuan. Kami hanya mengantar ini menjadi sebuah ruang dimana perempuan memperoleh identitasnya, dimana perempuan merenggut kembali, merekonstruksikan kembali pemikiran dan bahasanya, dimana para penyintas menyuarakan suaranya yang selama ini terbungkam dengan segala aktivitas dengan program-program……Jadi, Komnas Perempuan ini adalah puncak dari semangat dan gerakan perempuan, perjuangan perempuan di era Reformasi…..” (Ita Nadia, Ulang Tahun Komnas Perempuan ke 15, “Menata Langkah Bersama, Memajukan Upaya Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, 22 Oktober 2013)

File
Foto
Nama Komnas Perempuan Dan Legitimasi Hukum

Pasca Kerusuhan Mei 1998, setelah audiensi antara Presiden dan Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Presiden Habibie meminta usulan dari Saparinah Sadli mengenai tindak lanjut kasus perkosaan sistemik yang terjadi. Saparinah Sadli, memberikan usulan kepada Presiden Habibie untuk membentuk Komisi Nasional yang bergerak dalam isu perempuan di Indonesia. Usulan ini juga didasarkan pada pemikiran bahwa kepentingan perempuan harus disuarakan dan dibunyikan, tidak hanya sekedar dititipkan kepada lembaga yang bisa jadi berbeda ideologi dengan gerakan perempuan. Tawaran awal dari Presiden adalah sebuah komisi yang diberi nama “Komisi Nasional Perlindungan Wanita” dan ditempatkan di bawah naungan Menteri Negara Urusan Wanita. Tawaran ini ditolak dengan tegas oleh para aktivis perempuan, termasuk tawaran agar Ibu Negara duduk dalam jajaran kepengurusan Komisi baru tersebut. Hingga akhirnya disepakati nama Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang secara eksplisit menunjukkan penolakan terhadap kekerasan terhadap perempuan, sekaligus dinyatakan sebagai lembaga yang cara kerjanya bersifat mandiri dan independen. Legitimasi hukum termaktub dalam Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang disingkat dengan Komnas Perempuan.

Video / Rekaman
KONVENSI PIJAKAN KERJA KOMNAS PEREMPUAN
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. UU No. 7/1984 tentang Ratifikasi Konvensi Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW).
  3. CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) adalah sebuah Kesepakatan Internasional Untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
  4. UU No. 5/1998 tentang Ratifikasi Konvensi menentang Penyiksaan dan Hukuman Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan lainnya (CAT)
  5. Deklarasi Internasional tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (Diadopsi Majelis Umum PBB tanggal 20 Desember 1993, GA Res 48/104)
  6. Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. (Disahkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB 45/158 pada Tanggal 18 Desember 1990).
  7. Konvensi Internasional Perlindungan Terhadap Semua Orang dari Tindakan Penghilanga Secara Paksa
  8. Kebijakan dan instrumen hukum lainnya mengenai hak asasi manusia.
KEBIJAKAN PELEMBAGAAN KOMNAS PEREMPUAN

KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 181 TAHUN 1998  ( 9 OKTOBER 1998)

Keputusan Presiden No 181 tahun 1998 merupakan komitmen konkret Presiden Habibie atas kasus pemerkosaan terhadap perempuan yang sebagian adalah Etnis Tionghoa pada saat terjadi kerusuhan Mei 1998. Keputusan ini terbit setelah Presiden Habibie menerima audiensi dengan Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang diwakili oleh Ibu Hartarto, Ita F Nadia, Shinta Nuriyah, Saparinah Sadli, Ibu Kuraisin Sumhadi, Ibu Mayling Oey, Mely G. Tan, Kamala Chandrakirana, dan Smita Notosusanto pada 15 Juli 1998.  . Pada hari yang sama, Presiden Habibie menyampaikan permintaan maaf atas terjadinya perkosaan sistematis yang menimbulkan korban perempuan yang mayoritas berasal dari Etnis Tionghoa dalam konferensi pers. Tindak lanjut Presiden adalah pembentukan Tim Gabungan Pencarian Fakta (TGPF) untuk melakukan penyelidikan terhadap kerusuhan Mei. TiGPF melaporkan terjadinya 92 tindak kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan Mei tersebut di Jakarta dan sekitarnya, Medan dan Surabaya, yang meliputi 53 tindak perkosaan dengan penganiayaan, 10 penyerangan seksual/penganiayaan, dan 15 pelecehan seksual. Mengacu  data tersebut Presiden Habibie juga meminta usulan dari Saparinah Sadli mengenai tindak lanjut kasus perkosaan sistemik tersebut. Saparinah Sadli, memberikan usulan kepada Presiden Habibie untuk membentuk Komisi Nasional yang bergerak dalam isu perempuan di Indonesia. Presiden Habibie, menyetujui pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan sebagai lembaga yang mandiri dan independen. Persetujuan pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dilegitimasi melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan  terhadap Perempuan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Komnas Perempuan didirikan berdasarkan Keputusan Presiden No. 181/1998 yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65/2005. Berdasar Perpres tersebut mandat utama kerja-kerja Komnas Perempuan adalah:1) Melaksanakan pengkajian dan penelitian; 2) Pemantauan dan pencarian fakta serta pendokumentasian tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan; 3) Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif, dan yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk Kekerasan terhadap Perempuan; 4) Mengembangkan kerja sama regional dan internasional guna meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia, serta perlindungan penegakan dan pemajuan hak asasi perempuan.